Jemparingan merupakan warisan budaya yang berasal dari Yogyakarta. Jemparingan terlahir dari sebuah olah raga panahan tradisonal pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana I tahun 1759 yang disebut Jemparingan Gagrak Mataraman atau sering disebut Jegulan yang kemudian dikembangkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII pada Tahun 1953. Jemparingan berasal dari kata "Jemparing" yang berarti anak panah sehingga masyarakat menyebutnya panahan.
Jemparingan merupakan upaya dalam pembentukan karakter ksatria bagi pelakunya. Landasan pembentukan karakter ksatria meliputi empat hal antara lain Nyawiji (menyatukan konsentrasi), Greget itu (semangat), Sengguh (percaya diri) dan Ora mingkuh (bertanggung jawab).
Kampung Siliran merupakan tempat tinggal Abdi Dalem Silir yang
bertugas menangani lampu kraton. Pada masa lalu saat belum ada listrik,
kraton menggunakan lampu minyak. Untuk itu lampu perlu dinyalakan dan
dimatikan sekaligus diisi minyak satu persatu. Secara administratif
kampung ini berada di wilayah Kelurahan Panembahan, Kemantren Kraton.
Keberadaan Jemparingan di Kampung Siliran hadir pada Tahun 2016 berangkat dari keinginan masyarakat kampung untuk mengambil peran serta dalam melestarikan salah satu warisan budaya yang berasal dari Yogyakarta. Hingga saat ini Kampung Siliran memiliki komunitas Jemparingan dengan memanfaatkan lahan kosong yang ada. Tingginya minat masyarakat baik internal maupun external menjadi motivasi lebih untuk mengembangkan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian Warisan Budaya Jemparingan.
Kampung Siliran berupaya mensinergikan nilai-nilai yang terkandung dalam Jemparingan dengan asal-usul Kampung Siliran. Transformasi komunitas Jemparingan dan Kampung Siliran merupakan manifestasi dalam pembentukan Kampung Jemparingan Siliran. Jemparingan memiliki nilai penting dalam pembentukan karakter seorang ksatria sedangkan Siliran berasal dari kata "silir" yang berarti lampu, Lampu memberikan efek cahaya sehingga menjadi terang. Jemparingan sering disebut panahan atau memanah, memanah berasal dari kata manah dalam bahasa jawa "manah" adalah hati. Aktifitas jemparingan membutuhkan konsentrasi yang memadukan antara hati dan pikiran, sehingga tidak lain juga membutuhkan terang pikiran. Secara bahasa terang pikiran juga disebut terang hati yang memiliki arti mudah mengerti. Kampung Jemparingan Siliran hadir sebagai upaya rebranding kampung untuk melanjutkan tradisi yang bebudaya.